Presiden memang merupakan simbol negara sekaligus salah satu orang yang memiliki tanggung jawab paling besar dalam suatu negara. Namun jangan lupa, mereka juga memiliki kehidupan seperti manusia lainnya. Selain kiprah para pemimpin negara tersebut di dunia politik, ternyata sisi lain kehidupan mereka juga cukup menarik untuk dibicarakan.
Nah, siapa sangka para presiden Indonesia, dari Bung Karno hingga Jokowi memiliki kisah cinta yang cukup romantis? Berikut kisahnya
Nah, siapa sangka para presiden Indonesia, dari Bung Karno hingga Jokowi memiliki kisah cinta yang cukup romantis? Berikut kisahnya
Jembatan Cinta Sayur Lodeh : Kisah Cinta Romantis Soekarno dan Hartini
Selain sosoknya yang dikenal sebagai proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno ternyata adalah pria yang romantis. Kisah cinta Soekarno dengan dengan istri ketiganya, Hartini, cukup menarik. Sayur lodehlah yang mempertemukan mereka. Soekarno dan Hartini pertama kali bertemu pada 1952, di Salatiga. Saat itu, Bung Karno sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada, dan beliau terlebih dulu singgah di Salatiga. Meskipun hanya singgah sebentar, pemerintah dan warga setempat menyambut kedatangan presidennya itu dengan sukacita. Bung Karno dan rombongannya dijamu makan siang. Hartini termasuk di antara ibu-ibu yang menghindangkan hidangan makan siang untuk Bung Karno tersebut. Hartini saat itu memiliki tugas untuk membuat menu makan siang, yaitu sayur lodeh. Tak disangka, sayur lodeh khas Salatiga itu yang akhirnya membuat Hartini bertemu dengan Soekarno untuk pertama kalinya.
Ketika selesai menikmati jamuan di Kantor walikota tersebut, Bung Karno menyempatkan diri bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat. Bung Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”
Demi waktu, hari itu Sukarno jatuh cinta kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Sukarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini.
Tahun 1953, tercatat sebagai pertemuan kedua antara Bung Karno dan Hartini di Candi Prambanan. Akhirnya, setelah satu tahun berhubungan cinta melalui surat dan sedikit pertemuan, akhirnya Hartini menerima pinangan Bung Karno, dengan segala konsekuensi yang telah dipikirkannya. Apalagi, benih-benih cinta yang disemai Bung Karno, memang telah tumbuh subur di hati Hartini. Hartini begitu mengagumi Bung Karno, terlebih setelah bertubi-tubi menerima kiriman surat cinta, dalam bahasa yang begitu indah, serta diselang-seling sisipan mutiara kata dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Jawaban Hartini, “Ya… dalem bersedia menjadi istri Nandalem” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Akhirnya, perjuangan Soekarno mendapatkan cinta Hartini bermuara ketika Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953.
Suatu pribadi yang sangat luhur, dibalik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno, namun naluri sebagai sesama wanita masih begitu lekat dalam hatinya.
Selain sosoknya yang dikenal sebagai proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno ternyata adalah pria yang romantis. Kisah cinta Soekarno dengan dengan istri ketiganya, Hartini, cukup menarik. Sayur lodehlah yang mempertemukan mereka. Soekarno dan Hartini pertama kali bertemu pada 1952, di Salatiga. Saat itu, Bung Karno sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada, dan beliau terlebih dulu singgah di Salatiga. Meskipun hanya singgah sebentar, pemerintah dan warga setempat menyambut kedatangan presidennya itu dengan sukacita. Bung Karno dan rombongannya dijamu makan siang. Hartini termasuk di antara ibu-ibu yang menghindangkan hidangan makan siang untuk Bung Karno tersebut. Hartini saat itu memiliki tugas untuk membuat menu makan siang, yaitu sayur lodeh. Tak disangka, sayur lodeh khas Salatiga itu yang akhirnya membuat Hartini bertemu dengan Soekarno untuk pertama kalinya.
Ketika selesai menikmati jamuan di Kantor walikota tersebut, Bung Karno menyempatkan diri bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat. Bung Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”
Demi waktu, hari itu Sukarno jatuh cinta kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Sukarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini.
Tahun 1953, tercatat sebagai pertemuan kedua antara Bung Karno dan Hartini di Candi Prambanan. Akhirnya, setelah satu tahun berhubungan cinta melalui surat dan sedikit pertemuan, akhirnya Hartini menerima pinangan Bung Karno, dengan segala konsekuensi yang telah dipikirkannya. Apalagi, benih-benih cinta yang disemai Bung Karno, memang telah tumbuh subur di hati Hartini. Hartini begitu mengagumi Bung Karno, terlebih setelah bertubi-tubi menerima kiriman surat cinta, dalam bahasa yang begitu indah, serta diselang-seling sisipan mutiara kata dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Jawaban Hartini, “Ya… dalem bersedia menjadi istri Nandalem” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Akhirnya, perjuangan Soekarno mendapatkan cinta Hartini bermuara ketika Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953.
Suatu pribadi yang sangat luhur, dibalik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno, namun naluri sebagai sesama wanita masih begitu lekat dalam hatinya.
Kisah Cinta Soeharto-Ibu Tien dan Ramalan Akik
Kedudukan Soeharto sebagai Presiden dengan masa jabatan terlama di Indonesia menjadikan pemberitaan mengenai dirinya selalu menjadi daya tarik tersendiri, tak terkecuali dengan pemberitaan mengenai kisah cintanya.
Kisah cinta antara Soeharto dengan Raden Ayu Siti Hartinah, atau akrab dikenal dengan Ibu Tien berawal dari sebuah perjodohan. Tetapi, ada satu peristiwa unik yang terjadi sebelum Ibu Tien menikah dengan Soeharto, mengenai ramalan kisah cintanya.
Suatu hari ketika Soeharto masih menjabat Panglima Kostrad, Ibu Tien kedatangan seorang penjual batu akik yang bisa meramal. "Madam, suami madam akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang," kata si penjual batu akik.
Ucapan peramal itu membuat Ibu Tien tertawa. Menurutnya, menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat tugasnya.
Kisah cinta antara Soeharto terjadi ketika Pak Harto berusia 26 tahun dan sedang bertugas di Jakarta, yang saat itu sedang riuh dengan peristiwa penjanjian Renville. Pak Harto kemudian didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya.
Awalnya, pembicaraan di antara mereka merupakan pembicaraan layaknya orang tua dan anak. Tetapi, tiba-tiba Ibu Prawiro bertanya kepada Pak Harto tentang rencana pernikahan.
Pak Harto yang saat itu berpangkat Letkol tidak begitu serius menanggapi pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya. Tetapi, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Pak Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, dalam suasana penuh kesederhanaan, karena perang tengah berkecamuk kala itu. Bahkan, penerangan di malam hari terpaksa harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Tiga hari setelah pernikahan, Pak Harto langsung memboyong Ibu Tien ke kota tempatnya bertugas, Yogya.
Kedudukan Soeharto sebagai Presiden dengan masa jabatan terlama di Indonesia menjadikan pemberitaan mengenai dirinya selalu menjadi daya tarik tersendiri, tak terkecuali dengan pemberitaan mengenai kisah cintanya.
Kisah cinta antara Soeharto dengan Raden Ayu Siti Hartinah, atau akrab dikenal dengan Ibu Tien berawal dari sebuah perjodohan. Tetapi, ada satu peristiwa unik yang terjadi sebelum Ibu Tien menikah dengan Soeharto, mengenai ramalan kisah cintanya.
Suatu hari ketika Soeharto masih menjabat Panglima Kostrad, Ibu Tien kedatangan seorang penjual batu akik yang bisa meramal. "Madam, suami madam akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang," kata si penjual batu akik.
Ucapan peramal itu membuat Ibu Tien tertawa. Menurutnya, menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat tugasnya.
Kisah cinta antara Soeharto terjadi ketika Pak Harto berusia 26 tahun dan sedang bertugas di Jakarta, yang saat itu sedang riuh dengan peristiwa penjanjian Renville. Pak Harto kemudian didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya.
Awalnya, pembicaraan di antara mereka merupakan pembicaraan layaknya orang tua dan anak. Tetapi, tiba-tiba Ibu Prawiro bertanya kepada Pak Harto tentang rencana pernikahan.
Pak Harto yang saat itu berpangkat Letkol tidak begitu serius menanggapi pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya. Tetapi, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Pak Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, dalam suasana penuh kesederhanaan, karena perang tengah berkecamuk kala itu. Bahkan, penerangan di malam hari terpaksa harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Tiga hari setelah pernikahan, Pak Harto langsung memboyong Ibu Tien ke kota tempatnya bertugas, Yogya.
Habibie-Ainun : Perjalanan Cinta Sang Profesor
Kisah romantis presiden ketiga Indonesia ini bisa dibilang merupakan kisah yang paling fenomenal, dibuktikan dengan difilmkannya kisah ini pada tanggal 20 Desember 2012. Selain dibuat kedalam film, kisah cinta antara Habibie dan Ainun juga dituangkan ke dalam bentuk novel. Dalam novel yang berjudul "Habibie & Ainun", mantan Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie mengisahkan awal pertemuan dengan istrinya, almarhumah Hasri Ainun Habibie. Sepulang studi di Jerman Barat selama tujuh tahun, Habibie memberanikan diri mendekati Ainun yang mantan adik kelasnya di SMA-Kristen, Bandung.
Dalam pertemuan itu Habibie tak menyangka Ainun telah menjadi dokter berparas cantik. Padahal, saat sama-sama masih duduk di bangku SMA, Habibie kerap mengolok Ainun yang gemuk dan hitam.
"Saya tak menyangka bertemu dengan Ainun, reaksi spontan saya, 'Ainun kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!" tutur Habibie dalam buku karangannya itu.
Diakui lulusan teknik mesin, Institut Teknologi Bandung ini, ejekan demi ejekan yang dilontarkannya kepada Ainun pada masa itu karena guru-guru di SMA mereka seringkali menjodohkan keduanya. Ainun dikenal sebagai siswi yang pintar ilmu pasti, begitu pula dengan Habibie.
Kala itu, malam takbiran, Rabu, 7 Maret 1962, pertemuan pertama setelah tujuh tahun lamanya ternyata menjadi kenangan manis sepanjang masa bagi Habibie. Mata Habibie terpaku pada sosok Ainun yang telah berubah drastis menjadi sosok wanita ayu dan terpelajar.
Habibie tak pernah gentar walaupun kawan-kawannya selalu mengejek ketidakpantasannya bersanding dengan Ainun. Dikatakan kawan-kawannya saat itu, Habibie tak akan mampu bersaing dengan lelaki yang sudah lebih dulu mengincar Ainun, seorang anak dari tokoh terkemuka, berpendidikan lebih tinggi, tampan dan berada.
Akhirnya, B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Kisah romantis presiden ketiga Indonesia ini bisa dibilang merupakan kisah yang paling fenomenal, dibuktikan dengan difilmkannya kisah ini pada tanggal 20 Desember 2012. Selain dibuat kedalam film, kisah cinta antara Habibie dan Ainun juga dituangkan ke dalam bentuk novel. Dalam novel yang berjudul "Habibie & Ainun", mantan Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie mengisahkan awal pertemuan dengan istrinya, almarhumah Hasri Ainun Habibie. Sepulang studi di Jerman Barat selama tujuh tahun, Habibie memberanikan diri mendekati Ainun yang mantan adik kelasnya di SMA-Kristen, Bandung.
Dalam pertemuan itu Habibie tak menyangka Ainun telah menjadi dokter berparas cantik. Padahal, saat sama-sama masih duduk di bangku SMA, Habibie kerap mengolok Ainun yang gemuk dan hitam.
"Saya tak menyangka bertemu dengan Ainun, reaksi spontan saya, 'Ainun kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!" tutur Habibie dalam buku karangannya itu.
Diakui lulusan teknik mesin, Institut Teknologi Bandung ini, ejekan demi ejekan yang dilontarkannya kepada Ainun pada masa itu karena guru-guru di SMA mereka seringkali menjodohkan keduanya. Ainun dikenal sebagai siswi yang pintar ilmu pasti, begitu pula dengan Habibie.
Kala itu, malam takbiran, Rabu, 7 Maret 1962, pertemuan pertama setelah tujuh tahun lamanya ternyata menjadi kenangan manis sepanjang masa bagi Habibie. Mata Habibie terpaku pada sosok Ainun yang telah berubah drastis menjadi sosok wanita ayu dan terpelajar.
Habibie tak pernah gentar walaupun kawan-kawannya selalu mengejek ketidakpantasannya bersanding dengan Ainun. Dikatakan kawan-kawannya saat itu, Habibie tak akan mampu bersaing dengan lelaki yang sudah lebih dulu mengincar Ainun, seorang anak dari tokoh terkemuka, berpendidikan lebih tinggi, tampan dan berada.
Akhirnya, B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Kisah Cinta Gus Dur Dan Ibu Shinta Nuriyah : Mantan Murid yang Akhirnya Menjadi Istri
Cerita ini merupakan kisah cinta antara Presiden ke empat RI, Abdurrahman Wahid, atau sering disapa Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu. Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran. Maka ketika ia ditawari untuk kuliah di Mesir, ia di wanti-wanti oleh Pamannya, KH Fatah agar sebaiknya ia mencari isteri dulu segera. “Soalnya, kalau nunggu pulang dari luar negeri, kamu hanya akan mendapat wanita tua dan cerewet!” ucap Sang Paman.
Mendengar pesan Sang Paman yang sangat menyayanginya itu ia gelagapan. Namun, setelah dipikir-pikir lagi pesan pamannya tersebut masuk akal juga bagi diri Gus Dur saat itu. Apalagi Sang Paman tidak hanya menganjurkan, tetapi juga membantu mencarikan calon.
Lalu disodorkan nama Shinta Nuriyah, yang pernah menjadi murid Gus Dur ketika menjadi guru di Mua’llimat. Tanpa membantah sepatah kata pun, dia mengiyakan pilihan pamannya tersebut.
Sayangnya Shinta Nuriyah saat itu belum bersedia dipinang lantaran ia baru saja trauma oleh salah seorang gurunya yang meminangnya ketika ia baru berusia 13 tahun. Celakanya guru itu juga bernama Abdurrachman pula. Tetapi, setelah dilangsungkan mediasi antara keluarga kedua belah pihak, akhirnya Shinta Nuriyah pun bersedia dijadikan istri.
Maka tanggal pernikahan pun disamakan, pernikahan pun direncanakan dilaksanakan di Tambak Beras – Jombang. Karena Gus Dur sedang di Mesir maka terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria alias in absentia.
Pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis Ibu, KH Bisri Syansuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelia pria. Tak pelak para hadirin kaget saat menyaksikan acara Ijab Kabul. Mereka merasa iba pada Nuriyah. “Kasihan ya Si Nuriyah, suaminya tua banget”.
Maka sepulang sekolah dari Mesir, aksi pertama yang dilakukan Gus Dur adalah melangsungkan resepsi perkawinan. Mereka menggelar resepsi betulan kali ini dengan mempelai pria yang asli dan akhirnya mempelai pria tersebut kini benar-benar menjadi Guru Bangsa Indonesia yang pluralis, demokrat, humanis dan juga jenaka.
Cerita ini merupakan kisah cinta antara Presiden ke empat RI, Abdurrahman Wahid, atau sering disapa Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu. Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran. Maka ketika ia ditawari untuk kuliah di Mesir, ia di wanti-wanti oleh Pamannya, KH Fatah agar sebaiknya ia mencari isteri dulu segera. “Soalnya, kalau nunggu pulang dari luar negeri, kamu hanya akan mendapat wanita tua dan cerewet!” ucap Sang Paman.
Mendengar pesan Sang Paman yang sangat menyayanginya itu ia gelagapan. Namun, setelah dipikir-pikir lagi pesan pamannya tersebut masuk akal juga bagi diri Gus Dur saat itu. Apalagi Sang Paman tidak hanya menganjurkan, tetapi juga membantu mencarikan calon.
Lalu disodorkan nama Shinta Nuriyah, yang pernah menjadi murid Gus Dur ketika menjadi guru di Mua’llimat. Tanpa membantah sepatah kata pun, dia mengiyakan pilihan pamannya tersebut.
Sayangnya Shinta Nuriyah saat itu belum bersedia dipinang lantaran ia baru saja trauma oleh salah seorang gurunya yang meminangnya ketika ia baru berusia 13 tahun. Celakanya guru itu juga bernama Abdurrachman pula. Tetapi, setelah dilangsungkan mediasi antara keluarga kedua belah pihak, akhirnya Shinta Nuriyah pun bersedia dijadikan istri.
Maka tanggal pernikahan pun disamakan, pernikahan pun direncanakan dilaksanakan di Tambak Beras – Jombang. Karena Gus Dur sedang di Mesir maka terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria alias in absentia.
Pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis Ibu, KH Bisri Syansuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelia pria. Tak pelak para hadirin kaget saat menyaksikan acara Ijab Kabul. Mereka merasa iba pada Nuriyah. “Kasihan ya Si Nuriyah, suaminya tua banget”.
Maka sepulang sekolah dari Mesir, aksi pertama yang dilakukan Gus Dur adalah melangsungkan resepsi perkawinan. Mereka menggelar resepsi betulan kali ini dengan mempelai pria yang asli dan akhirnya mempelai pria tersebut kini benar-benar menjadi Guru Bangsa Indonesia yang pluralis, demokrat, humanis dan juga jenaka.
Kisah Cinta Megawati-Taufik Kiemas: Berawal dari Pusara Soekarno
Awal pertemuan dua Megawati-Taufiq itu berlangsung cukup istimewa. Pada Bulan Juli 1971, Taufiq Kiemas bersama Guntur Soekarnoputra dan Panda Nababan melakukan ziarah ke makam Bung Karno, di Blitar. Usai berziarah ke makam Bung Karno, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi komplek perumahan AURI di Madiun, Jawa Timur, tempat Megawati tinggal. Di sinilah mereka berkenalan untuk kali pertama.
"Saat itulah saya akhirnya berkenalan dengan Taufiq," kenang Megawati.
Padahal, jauh sebelum mereka berkenalan, pada 1964 sebelum Megawati menikah dengan Letnan (Penerbang) Surindro Suprijarso, Guntur telah menceritakan sosok Taufiq kepada Megawati.
"Dis (Adis, nama panggilan kecil Megawati), nanti saya kenalkan dengan teman saya, si Bule (Taufiq Kiemas)," kata Guntur kepada Megawati kala itu. Taufiq Kiemas dipanggil Si Bule karena berperawakan jangkung dan berkulit putih, selain itu karena dinilai ganteng dan santun.
Tak lama setelah berkenalan, cinta akhirnya bersemi di antara mereka. Singkat cerita, setahun setelah menjalin kasih, pada Maret 1973 akhirnya pasangan ini melangsungkan pernikahan dengan sebuah resepsi sederhana di Panti Perwira, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat.
Awal pertemuan dua Megawati-Taufiq itu berlangsung cukup istimewa. Pada Bulan Juli 1971, Taufiq Kiemas bersama Guntur Soekarnoputra dan Panda Nababan melakukan ziarah ke makam Bung Karno, di Blitar. Usai berziarah ke makam Bung Karno, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi komplek perumahan AURI di Madiun, Jawa Timur, tempat Megawati tinggal. Di sinilah mereka berkenalan untuk kali pertama.
"Saat itulah saya akhirnya berkenalan dengan Taufiq," kenang Megawati.
Padahal, jauh sebelum mereka berkenalan, pada 1964 sebelum Megawati menikah dengan Letnan (Penerbang) Surindro Suprijarso, Guntur telah menceritakan sosok Taufiq kepada Megawati.
"Dis (Adis, nama panggilan kecil Megawati), nanti saya kenalkan dengan teman saya, si Bule (Taufiq Kiemas)," kata Guntur kepada Megawati kala itu. Taufiq Kiemas dipanggil Si Bule karena berperawakan jangkung dan berkulit putih, selain itu karena dinilai ganteng dan santun.
Tak lama setelah berkenalan, cinta akhirnya bersemi di antara mereka. Singkat cerita, setahun setelah menjalin kasih, pada Maret 1973 akhirnya pasangan ini melangsungkan pernikahan dengan sebuah resepsi sederhana di Panti Perwira, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat.
Kisah Cinta SBY-Ani : LDR yang berakhir Pernikahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menceritakan beberapa kisah masa lalunya di Facebook, termasuk kisah percintaannya dengan Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono saat masih muda dulu.
Diceritakan bahwa SBY tidak menyangka akan jatuh cinta pada putri pimpinan akademinya. "Saat belum menikah, Pak SBY dan Ibu Ani menjalani hubungan cinta jarak jauh dengan saling berkirim surat. Lewat surat, Pak SBY dan Ibu Ani bisa saling mencurahkan isi hati," demikian diunggah di FacebookSBY beberapa jam yang lalu.
Kisah percintaan Pak SBY dan Ibu Ani terbilang cukup unik, karena lamaran Pak SBY untuk meminang Ibu Ani terjadi tanpa sepengetahuan Ibu Ani.
Lamaran tersebut terjadi di Magelang, saat Pak SBY diwisuda menjadi Perwira terbaik AKABRI tahun 1973. Orang tua Pak SBYmenemui Sarwo Edhie Wibowo dan Ibunda dari Ibu Ani ketika mereka ikut menghadiri acara wisuda itu. Mereka secara resmi menyatakan hendak ‘meminta’ Ibu Ani dan lamaran tersebut disetujui.
Ani Yudhoyono lahir pada 6 Juli 1952. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah. Menikah dengan SBY pada tanggal 30 Juli 1976, ketika SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik. Dari wikipedia ditulis, Ani Yudhoyono sempat kuliah Jurusan Kedokteran di Universitas Kristen Indonesia, tetapi pada tahun ketiga meninggalkan bangku kuliah karena pindah untuk mengikuti Ayahnya yang ditunjuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Setelah pulang ke Indonesia, ia menikah dengan SBY. Ani melanjutkan kuliahnya di Universitas Terbuka dan lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik di tahun 1998.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menceritakan beberapa kisah masa lalunya di Facebook, termasuk kisah percintaannya dengan Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono saat masih muda dulu.
Diceritakan bahwa SBY tidak menyangka akan jatuh cinta pada putri pimpinan akademinya. "Saat belum menikah, Pak SBY dan Ibu Ani menjalani hubungan cinta jarak jauh dengan saling berkirim surat. Lewat surat, Pak SBY dan Ibu Ani bisa saling mencurahkan isi hati," demikian diunggah di FacebookSBY beberapa jam yang lalu.
Kisah percintaan Pak SBY dan Ibu Ani terbilang cukup unik, karena lamaran Pak SBY untuk meminang Ibu Ani terjadi tanpa sepengetahuan Ibu Ani.
Lamaran tersebut terjadi di Magelang, saat Pak SBY diwisuda menjadi Perwira terbaik AKABRI tahun 1973. Orang tua Pak SBYmenemui Sarwo Edhie Wibowo dan Ibunda dari Ibu Ani ketika mereka ikut menghadiri acara wisuda itu. Mereka secara resmi menyatakan hendak ‘meminta’ Ibu Ani dan lamaran tersebut disetujui.
Ani Yudhoyono lahir pada 6 Juli 1952. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah. Menikah dengan SBY pada tanggal 30 Juli 1976, ketika SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik. Dari wikipedia ditulis, Ani Yudhoyono sempat kuliah Jurusan Kedokteran di Universitas Kristen Indonesia, tetapi pada tahun ketiga meninggalkan bangku kuliah karena pindah untuk mengikuti Ayahnya yang ditunjuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Setelah pulang ke Indonesia, ia menikah dengan SBY. Ani melanjutkan kuliahnya di Universitas Terbuka dan lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik di tahun 1998.
Kisah Cinta Jokowi-Iriana : Menikah Dengan Mas Kawin Berupa Cincin Seharga Rp 24 Ribu
Iriana dan Jokowi berkenalan sekitar tahun 1982, saat Jokowi masih berstatus sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Kehutanan UGM, sementara Iriana masih kelas 3 SMAN III, Solo. Mereka bisa saling kenal karena kebetulan Jokowi ini kakak teman sekelas Iriana. Jokowi dan Iriana lalu berpacaran selama 4 tahun. Kisah cinta Presiden dan Ibu Negara ini relatif normal, lurus-lurus dan mulus karena direstui orangtua dari kedua belah pihak.
Setahun setelah lulus, keduanya melangsungkan pernikahan, pada tanggal 24 Desember 1986, dengan mas kawin berupa cincin seharga Rp 24 ribu, cincin itu masih dipakai hingga kini di jari manis kiri Iriana. Dan yang luar biasa, “Iriana merupakan pacar pertama dan terakhir Jokowi,” kata Sudjiatmi Notomihardjo (72 tahun), ibunda Jokowi.
Jokowi-Iriana nampaknya merupakan pasangan hidup yang serasi, keduanya sama-sama mempunyai sifat sederhana, mau melayani, mau repot untuk orang lain. Kini perkawinan mereka telah melewati fase “kawin perak,” karena sudah berusia 27 tahun masa pernikahan.
Pada sebuah kesempatan Jokowi pernah berkata : “Resep menjaga keharmonisan rumah tangga adalah, suami isteri harus saling mengerti, memahami dan komunikatif. Selain itu anak-anak juga harus diajari untuk mengerti kondisi orangtua. Pokoknya komunikatif dan terkadang perlu diajak guyon (bercanda), biar akrab.”
Iriana memberikan dukungan penuh, mengantar, mendampingi Jokowi berjuang hingga meniti sukses, dimulai sejak lulus UGM, menjadi pegawai BUMN di Aceh, berlanjut merintis usaha meubel, terjun ke dunia politik menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur DKI, hingga hari ini menjadi kandidat RI 1. Dari pernikahannya itu, mereka mendapatkan 3 orang momongan, yaitu Gibran Rakabumi Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep.
Iriana dan Jokowi berkenalan sekitar tahun 1982, saat Jokowi masih berstatus sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Kehutanan UGM, sementara Iriana masih kelas 3 SMAN III, Solo. Mereka bisa saling kenal karena kebetulan Jokowi ini kakak teman sekelas Iriana. Jokowi dan Iriana lalu berpacaran selama 4 tahun. Kisah cinta Presiden dan Ibu Negara ini relatif normal, lurus-lurus dan mulus karena direstui orangtua dari kedua belah pihak.
Setahun setelah lulus, keduanya melangsungkan pernikahan, pada tanggal 24 Desember 1986, dengan mas kawin berupa cincin seharga Rp 24 ribu, cincin itu masih dipakai hingga kini di jari manis kiri Iriana. Dan yang luar biasa, “Iriana merupakan pacar pertama dan terakhir Jokowi,” kata Sudjiatmi Notomihardjo (72 tahun), ibunda Jokowi.
Jokowi-Iriana nampaknya merupakan pasangan hidup yang serasi, keduanya sama-sama mempunyai sifat sederhana, mau melayani, mau repot untuk orang lain. Kini perkawinan mereka telah melewati fase “kawin perak,” karena sudah berusia 27 tahun masa pernikahan.
Pada sebuah kesempatan Jokowi pernah berkata : “Resep menjaga keharmonisan rumah tangga adalah, suami isteri harus saling mengerti, memahami dan komunikatif. Selain itu anak-anak juga harus diajari untuk mengerti kondisi orangtua. Pokoknya komunikatif dan terkadang perlu diajak guyon (bercanda), biar akrab.”
Iriana memberikan dukungan penuh, mengantar, mendampingi Jokowi berjuang hingga meniti sukses, dimulai sejak lulus UGM, menjadi pegawai BUMN di Aceh, berlanjut merintis usaha meubel, terjun ke dunia politik menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur DKI, hingga hari ini menjadi kandidat RI 1. Dari pernikahannya itu, mereka mendapatkan 3 orang momongan, yaitu Gibran Rakabumi Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep.
Posting Komentar Blogger Facebook