Baru-baru ini, dunia pendidikan Indonesia dikejutkan dengan munculnya foto beberapa siswa SD di daerah pedalaman yang harus menyebrangi jembatan “Indiana Jones” dan jalan “Lord of the Ring” setiap kali mereka pergi ke sekolah. Foto tersebut secara viral tersebar lewat internet hingga menjadi sorotan media internasional. Banyak dari kita yang mengkritik, bahkan mengecam kinerja pemerintah setempat. Sampai saat ini, pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia seolah masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Sebagai pemuda, apa yang bisa kita lakukan selain menunggu perubahan?
Jemi Ngadiono, Founder gerakan 1000 guru
Adalah Jemi Ngadiono, salah satu pemuda yang memilih untuk berbagi dan membenahi potret buram pendidikan di berbagai daerah pedalaman Indonesia. Jemi, yang pada saat itu masih bekerja di rumah produksi karet, berinisiatif untuk membuat gerakan 1000 guru pada tahun 2012. “Saat aku dapat kerjaan ke luar daerah, aku ketemu anak-anak yang nggak punya sepatu, anak-anak yang sangat butuh bantuan (di bidang pendidikan). Akhirnya, aku coba bikin akun @1000_guru di twitter.” ujarnya. Dalam akun tersebut, Jemi berbagi realita pendidikan Indonesia di berbagai pelosok negeri. Ia juga menyempatkan diri untuk mengajar di beberapa sekolah yang kekurangan guru dan berdiskusi dengan pihak sekolah. Hasil diskusi tersebut kemudian ia share melalui akun twitter @1000_guru.
Tak disangka, gerakan yang ia buat ternyata banyak mendapatkan respon positif. Dalam waktu kurang dari setahun, followers akun @1000_guru mencapai 20.000 akun. “Lalu ada yang nanya bagaimana caranya kalau mereka mau ikut mengajar ke daerah pedalaman bareng aku. Dari situ, muncul ide buat bikin kegiatan Traveling & Teaching (T&T) yang pertama kalinya ke daerah Muncang, Banten.” tutur Jemi. Dalam kegiatan T&T, peserta yang mendaftar bisa menikmati keindahan alam sembari berbagi pengetahuan kepada anak-anak di lokasi wisata tersebut.
Kegiatan T&T yang Jemi lakukan ternyata berhasil menginspirasi para pesertanya untuk membangun pendidikan di daerah mereka masing-masing dengan mendirikan Komunitas 1000 Guru Regional. Alhasil, saat ini Komunitas 1000 Guru Regional telah tersebar di 14 kota di Indonesia. Selain T&T, Komunitas 1000 Guru juga memiliki program Beasiswa Guru Pedalaman untuk guru-guru yang berdedikasi pada pendidikan di daerah pedalaman Indonesia. Sampai sekarang, Komunitas 1000 Guru telah memberikan beasiswa kepada empat orang guru honorer, salah satunya adalah Asnat Bell. Guru dari NTT ini hanya diberikan gaji sebesar 50.000 rupiah per bulan. Tak hanya itu, tahun ini Komunitas 1000 Guru menargetkan untuk berbagi dengan 4400 anak didik di seluruh Indonesia.
Kepedulian Jemi pada bidang pendidikan Indonesia semakin besar ketika ia mengingat pengalamannya yang sempat putus sekolah. “Waktu mau lanjut ke SMA, aku nggak bisa sekolah karena orang tuaku nggak mampu menyekolahkan aku lagi. Bahkan, ada satu temanku yang ngejek karena aku pakai sepatu bola bekas ke sekolah” kenangnya sambil tersenyum. Walau sempat ditertawakan oleh teman-temannya, kini Jemi berhasil menyelesaikan studinya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Melalui gerakan ini, Jemi berharap semakin banyak pemuda Indonesia yang tergerak untuk ikut membangun dunia pendidikan, terutama di daerah pedalaman Indonesia. “Bayangkan kalau setiap bulan ada 1000 anak muda yang datang ke pedalaman untuk mengajar. Mungkin dampaknya nggak langsung besar. Tapi dari situ, pemuda bisa lebih bersyukur, lebih menghargai perjuangan guru dan tentunya lebih menghargai pendidikan.” ujarnya. Selain itu, Jemi berharap gerakan ini bisa menjadi gerakan independen yang frontal menyuarakan kondisi pendidikan di daerah pedalaman Indonesia kepada pemerintah.
Bagi Anda yang memiliki informasi mengenai sekolah yang membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk langsung mengirimkan email ke infoseribuguru@gmail.com. Jangan sampai diamnya kita menjadi penghalang mereka untuk mengenyam pendidikan yang layak. Mengutip kata-kata Anies Baswedan,
“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”
Posting Komentar Blogger Facebook